Kini aku membuang payungku, aku mulai menari, karena aku lihat hujan
ingin ditemani. Tanpa banyak kata, hanya airmata yang mengeluarkan
suara, merintih, mengeluarkan pedih yang sudah tak bisa aku tahan lagi.
Rindu, mungkin itu kalimat yang tepat untuk mewakili kenapa aku ingin
menari di bawah derasnya hujan malam ini. Tanpa kusadari aku merasakan
pahit atas airmata yang mengecup bibirku.
Aku terdiam sejenak sambil berpikir, ternyata airmata merasakan apa
yang aku rasa, begitu pahit rasanya, begitu sedih apa yang aku rasa.
Dia, tak usah aku sebut namanya. Pada hati yang ia lupakan, ada
kenangan yang ia tinggalkan. Dan itulah yang membuat hujan kali ini
terasa begitu memilukan.
Malam ini tak seperti malam sebelumnya, kini aku berlutut di bawah
rintik hujan, aku berteriak pada kenyataan. Kenapa tangisan ini
merindukan orang yang sudah menyayat hatiku paling dalam.
Tanpa sadar sepasang tangan dan mata ini membentangkan dan
menjatuhkan tangisan. Dengan penuh elegi bibir ini bersuara. “Tuhan,
bahagiakan dia”.
Kini, kau tetap yang aku rindu, walau kau bukan lagi milikku.
Hati ini lupa cara menutup pintu, selalu menunggu kedatanganmu.
Atas dasar itu. kini, “HUJAN, aku menyebutmu”.
Sumber : http://pesawat-biru.tumblr.com/post/56331626839/aku-menyebutnya-hujan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar